Masa kanak-kanak adalah masa yang menyenangkan. Konon, karena di masa tersebut, anak belum merasakan beban berat dalam kehidupannya. Namun pada kenyataan seperti halnya orang dewasa, anak-anak juga bisa mengalami trauma. Mereka bahkan lebih rentan karena secara psikologis anak-anak belum sesiap orang dewasa dalam menghadapi peristiwa traumatis.
Trauma kekerasan di masa kanak – kanak memiliki dampak yang signifikan pada kualitas hidupnya saat dewasa kelak. Dampaknya dapat dirasakan di beberapa bidang, seperti kesehatan emosional, kesehatan fisik, kesehatan mental, dan cara dia memandang dirinya sendiri. Trauma yang belum pulihpun kerap memunculkan bayangan masa lalu yang dapat menyebabkan kesedihan. Bertahan dari pelecehan atau trauma sebagai seorang anak kerap dikaitkan dengan depresi, keinginan untuk bunuh diri, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, serta kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Tidak hanya melukai perkembangan mental, anak-anak yang terkena pelecehan dan trauma dapat mengembangkan apa yang disebut “respons stres yang meningkat”. Ini dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk mengatur emosi, menyebabkan gangguan tidur, menurunkan fungsi kekebalan tubuh, dan meningkatkan risiko sejumlah penyakit fisik sepanjang masa perkembangan dewasa kelak. Saat anak mengalami kekerasan dan stres, tubuhnya bereaksi dengan memproduksi hormon kortisol atau hormon stres. Jika diproduksi berlebihan, hormon itu dapat menganggu perkembangan saraf di otak. Tak hanya itu, hormon yang bersifat toksik itu bisa menjalar dan menganggu sisitem pencernaan, kardiovaskular, dan pembuluh darah.
Sesuatu yang sifatnya traumatis biasanya sulit untuk diceritakan, tetapi kerap memengaruhi perubahan pada perilaku. Respons anak-anak terhadap trauma dapat bervariasi, orang tua bisa tanggap dengan cara memerhatikan perubahan sikap pada anak. Berikut adalah perubahan perilaku yang biasanya dilakukan anak setelah mengalami peristiwa tidak menyenangkan. Antara lain:
- Mengikuti orang tua di sekitar rumah.
- Tiba-tiba mengalami masalah dengan keterampilan dasar, seperti tidur, makan, pergi ke toilet.
- Perubahan suasana hati di mana anak tidak menikmati rutinitas atau kegiatan sehari-hari yang mereka sukai atau mungkin terlihat lebih “tertutup”, lesu, dan menarik diri.
- Meningkatnya rasa takut, misalnya anak menjadi lebih gelisah atau lekas kaget dan mengembangkan ketakutan baru.
- Mimpi buruk yang intens.
- Lebih banyak keluhan fisik yang tidak ditemukan penyebabnya, seperti sakit perut atau sakit kepala, kelelahan, dan masalah lainnya.
Menurut Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia dr. Eva Devita Sp. Anak Konsultan Tumbuh Kembang Pediatri Sosial (Koran Kompas edisi 20/07/20), kekerasan terhadap anak juga memicu gangguan pertumbuhan kepribadian sehingga anak tak mampu mengelola emosinya, yang dikhawatirkan mereka tumbuh dewasa menjadi anak – anak yang bermasalah. Anak dengan kecenderungan masalah emosi, apabila mengalami kekerasan, mereka lebih mudah stres, mempunyai ganguan perilaku, termasuk bipolar. “kalau sudah jadi bipolar, itu titik akhirnya. Anak – anak ataupun orang dewasa yang tumbuh dengan trauma kekerasan harus memperoleh penanganan profesional untuk mendapatkan terapi dan pengobatan yang diperlukan.
Reaksi anak terhadap trauma dapat ditunjukkan secara langsung maupun nanti, dan tingkat keparahan dari trauma ini pun bisa berbeda antar anak. Anak-anak yang sudah mempunyai masalah kesehatan mental, pernah mengalami trauma di masa lalu, mempunyai dukungan yang sedikit dari keluarga dan lingkungan sekitar, dapat menunjukkan reaksi yang lebih terhadap trauma. Untuk mengatasi trauma pada anak ini, orangtua dapat melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
- Melakukan hal-hal rutin bersama
Ajak anak melakukan kegiatan rutin bersama, seperti makan bersama, nonton tv bersama, dan pergi tidur. Lakukan kegiatan sehari-hari ini seperti biasa. Hal ini memungkinkan anak merasa lebih aman dan terkontrol. Biarkan anak tinggal dengan orang yang akrab atau dekat dengannya, seperti orangtua dan keluarga. - Menjauhkan hal-hal yang berhubungan dengan penyebab trauma anak
Caranya antara lain tidak menonton tayangan peristiwa serupa dengan yang membuatnya trauma. Hal ini hanya akan membuat trauma anak lebih buruk, anak dapat mengingat kembali apa yang terjadi, membuat anak takut dan stres. - Pahami reaksi anak terhadap trauma
Reaksi anak terhadap trauma berbeda-beda, bagaimana orangtua memahami dan menerima reaksi anak dapat membantu anak pulih dari trauma. Anak mungkin bereaksi dengan cara sangat sedih dan marah, tidak dapat berbicara, dan mungkin ada yang berperilaku seolah-olah tidak pernah terjadi hal menyakitkan terhadap dirinya. Beri anak pengertian bahwa perasaan sedih dan kecewa merupakan perasaan yang wajar mereka rasakan saat ini. - Berbicara pada anak
Dengarkan cerita anak dan pahami perasaan mereka, beri jawaban yang jujur dan mudah dimengerti anak apabila mereka bertanya. Jika anak terus bertanya pertanyaan yang sama, artinya ia sedang kebingungan dan sedang mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Gunakan kata-kata yang membuat anak nyaman, bukan menggunakan kata-kata yang dapat membuat anak takut. Bantu anak dalam mengutarakan apa yang mereka rasakan dengan baik. - Berikan rasa nyaman dan tenang
Tujuannya untuk meningkatkan rasa percaya diri anak. Supaya anak merasa tenang, yakinkan ia bahwa trauma dapat dialami oleh siapa saja. Ingatkan juga bahwa rasa cemas merupakan hal yang wajar. Tumbuhkan kepercayaan diri anak bahwa cepat atau lambat ia dapat melewati dan mengatasi rasa cemas yang dialaminya. - Hindari mengisolasi anak
Menjauhkan anak yang baru saja mengalami hal buruk dalam hidupnya hanya akan menimbulkan raa kesepian pada anak. Ketika anak merasa sendiri dan kesepian, bukan tidak mungkin hal ini akan mengikat mereka pada kejadian buruk yang telah menimpanya dan ketakutan ini akan semakin membesar. Untuk itulah, sebaiknya usahakan anak agar tetap bisa ceria dan bermain layaknya seperti anak biasa. Upayakan agar anak bisa mendapatkan kembali kehidupan normalnya seperti sediakala. Karena hanya dengan begini, perlahan mereka akan dapat melupakan traumatik dan ketakutannya pada masalah yang telah menimpa mereka. Akan tetapi, pengawasan ekstra dari orangtua adalah jaminan pasti keselamatan si anak. Untuk itu, biarkan anak bermain, namun dengan perhatian dan pengawasan penuh dari orangtunya. - Alihkan anak pada kegiatan yang lebih positif
Anak-anak yang mendapatkan trauma mendalam, umumnya akan membuat mereka menjadi lebih pendiam, murung dan seringkali menutup diri. Nah, agar anak tak melulu merasakan ketakutan dan dihantui kepanikan yang mendalam. Maka tidak ada salahnya orangtua mengupayakan segala hal agar si buah hati bisa teralihkan pada kegiatan yang lebih positif sesuai dengan hobinya. Seperti misalkan bermain sepakbola, bermain boneka atau membuat mereka tetap merasa sibuk dimana sebagian besar perhatiannya teralihkan pada kegiatan tersebut. - Berikan dukungan dan tetaplah optimis
Anak yang masih begitu kecil, umumnya akan lebih banyak meniru semua perbuatan dan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, termasuk orangtua mereka sendiri. Ketika orangtua mendapati anak-anak menjadi korban kekerasan, bukan berarti orangtua harus terus-terusan menyesal dan menyalahkan segala sesuatunya pada kondisi dan keadaan. Sebab hal ini malah akan membawa tekanan baru pada si anak dan membuat mereka semakin dihantui dengan ketakutan. Untuk itu, sebaiknya berikan dukungan pada anak bahwa mereka akan baik-baik saja dan kelak dimasa depan kehidupan mereka akan bisa berjalan dengan baik. Selain itu, berikanlah pengaruh yang positif dengan tetap berpikiran positif. Ketakutan dan trauma yang mendalam pada anak akan semakin besar jika orangtua memberikan mereka dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi dalam kehidupan mereka dimasa depan. Untuk itu, berikan mereka dukungan dengan cinta dan kasih sayang.